Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan penyebab kematian pasien gangguan gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) belum dapat disimpulkan sebagai akibat dari obat dengan cemaran senyawa kimia berbahaya.
Hal ini disampaikan Kepala BPOM Penny Lukito dalam keterangan pers mengenai hasil pengawasan terkait obat yang tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliserin/gliserol.
"Sampai saat ini, penyebab kejadian yang banyak dari insiden kematian ini belum bisa disimpulkan bahwa disebabkan oleh obat," kata Penny dalam keterangannya, Kamis (27/10).
Berkaca pada kasus di Gambia, kata Penny, memang teridentifikasi ada kaitannya dengan obat sirup yang mengandung cemaran senyawa kimia Etilen glikol (EG) dan/atau Dietilen glikol (DEG). Hal itu pula yang jadi masukan bagi BPOM dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menelusuri produk-produk obat yang mengandung cemaran usai kasus gagal ginjal akut merebak di Indonesia.
Kendati demikian, menurut Penny, penelusuran lebih lanjut perlu dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kaitan antara kasus kematian dengan konsumsi obat-obatan tersebut.
"Tapi causal relationship-nya terhadap semua peristiwa kematian itu, kaitannya dengan obat, saya kira belum bisa disimpulkan demikian. Karena jangan sampai kita menyimpulkan dengan tiba-tiba, sehingga kita terlewat hal-hal penting lainnya, hanya menyalahkan pada obat tapi hal-hal penting lainnya tidak kita eksplor lebih jauh lagi," papar dia.
Penny menuturkan, dalam merespons kasus gangguan gagal ginjal akut pada awal Oktober lalu, pihaknya sempat menemui kesulitan dalam melakukan penelusuran. Hal ini dikarenakan minimnya data pencatatan penggunaan obat oleh pasien yang dilaporkan tenaga kesehatan.
Disampaikan Penny, sampai tanggal 25 Oktober, hanya ada tiga laporan yang diterima pihaknya terkait pendataan penggunaan obat dari pasien. Alhasil, BPOM membutuhkan waktu cukup lama untuk melakukan penelusuran hingga akhirnya mengeluarkan daftar 133 obat yang dinyatakan tidak mengandung bahan pelarut berisiko cemaran EG dan DEG.
"Kalau datanya lengkap, lebih cepat kami menentukan apakah ada obat sebagai penyebab kematian tersebut," ucap Penny.
Selain itu, ujar Penny, belum ada standar internasional terkait batasan dari cemaran EG dan DEG dalam produk obat-obatan yang sudah jadi. Sebab, ketentuan yang ada selama ini mengatur soal larangan EG dan DEG dalam bahan baku.
Namun, lanjut dia, Indonesia memiliki standar pembuatan obat yakni Farmakope, yang juga mengacu pada standar internasional. Dengan adanya kejadian gagal ginjal akut yang dikaitkan dengan cemaran dalam produk obat ini, BPOM akan meminta dokumen Farmakope direvisi.
"Kami akan minta Kemenkes untuk merevisi dokumen Farmakope Indonesia, sehingga mencantumkan juga ketentuan tentang cemaran-cemaran yang kita sudah dapati sekarang, perkara dikaitkan dengan EG DEG dengan adanya temuan beberapa produk yang mengandung cemaran yang sangat tinggi ini," jelas Penny.
Menurut Penny, langkah untuk merevisi dokumen Farmakope Indonesia dinilai penting. Sehingga, ke depannya BPOM dapat melakukan pengawasan cemaran pada produk-produk obat yang beredar berdasarkan acuan hukum yang berlaku.